Advertising
Example 300x600
Example 325x70 Example 160x350 Example 160x350 Example 160x350 Example 160x350 Example 160x350 Example 160x350 Example 160x350 Example 160x350 Example 160x350 Example 160x350 Example 160x350 Example 160x350
Opini

Jalan Panjang Pendidikan Indonesia : ”Alat Reproduksi Sosial dan Alat Kendali Sosial”

259
×

Jalan Panjang Pendidikan Indonesia : ”Alat Reproduksi Sosial dan Alat Kendali Sosial”

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi kompas.id

IPenulis : Sutrisno Bandu

 

JALAN panjang pendidikan kritis nyatanya tak semudah yang saya kira. Terutama ketika narasi dominan tentang pendidikan yang ada dan terus bertumbuh di dalam masyarakat lekat dengan logika kapitalisme, kompetisi, individualisme dan depolitisasi institusi pendidikan.

 

Tujuan pendidikan sebagai alat reproduksi sosial dapat diartikan bagaimana pendidikan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan, serta menciptakan kembali, berbagai hierarki sosial serta relasi-relasi kekayaan, kekuasaan, dan pengaruh yang ada di masyarakat saat ini.

Baca Juga :   Resmi Diluncurkan, Media SuaraKeraton.id Wadah baru penyebaran Informasi Di Banggai Laut

Kita bisa ambil contoh bagaimana pendidikan mempertahankan –atau bahkan menciptakan kembali ketimpangan-ketimpangan sosial yang diakibatkan dari struktur masyarakat yang hierarkis. Beberapa contohnya sebeperti hierarki gender, hierarki ras pribumi-non-pribumi, hierarki kelas sosial orang kaya dengan orang miskin, bahkan hierarki orang kota dan orang desa. Sebagai alat reproduksi sosial, pendidikan justru berkontribusi untuk membuat yang miskin tetap miskin, perempuan dilihat sebagai mahluk yang berada dibawah laki-laki, masyarakat adat sebagai masyarakat yang ‘tak berpendidikan’ dan ‘tak modern’, dan sebagainya.

Lalu bagaimana caranya agar para siswa menyetujui proses pendidikan yang mereproduksi ketimpangan sosial ini ? bagaimana para siswa menginternalisasi dan melihat semua hal ini sebagai hal yang lumrah dan “biasa-biasa saja” ? siswa diajarkan bahwa ketimpangan kelas sosial terjadi bukan karena struktur sosial yang menindas, tapi karena orang tersebut “mungkin kurang kerja keras saja”.

 

Selanjutnya, pengendalian sosial, singkatnya, dapat diartikan sebagai strategi dan proses yang berfungsi mengatur dan mengendalikan perilaku individu dan kelompok yang mengarah pada kepatuhan. Hal ini bisa dilakukan melalui cara yang terbuka dan mudah dilihat, seperti peraturan, produk hukum dan pedoman. Contoh : bel masuk sekolah atau kelas, aturan akan seragam sekolah, hingga potongan rambut. Atau bisa juga melalui kontrol tersembunyi, bagaimana kita harus berperilaku atau bertindak sebagaimana yang diterima secara umum, meski tidak ada aturan resmi yang tertulis.

Sejauh pengamatan saya, ruang kelas adalah satu-satunya ruang yang belum dikendalikan dan diawasi secara ‘penuh’ oleh institusi pendidikan atau negara. Maka celah-celah menantang hegemoni yang kerap digunakan oleh mereka yang mengupayakan perlawanan kontra-hegemoni terletak pada guru/tenaga pendidik dan proses pengajaran dalam kelas atau apa yang kita kenal sebagai pedagogi.

 

Bell Hooks dalam bukunya, Teaching Community : Pedagogy of Hope, menawarkan rekomendasi bagaimana kita dapat membuat ruang kelas menjadi tempat yang menopang kehidupan dan pikiran berkembang. Ruang kelas harus menjadi tempat kebersamaan yang membebaskan dimana guru dan siswa bekerjasama sebagai mitra dalam solidaritas.

 

Hooks menulis bahwa pendidikan sebagai praktik kebebasan dan institusi pendidikan sebagai ruang praktik kebebasan tersebut, mengajari kita cara menciptakan komunitas dan solidaritas. Bagi Hooks, walaupun pedagogi harus selalu mengupayakan kesadaran kritis, pedagogi kritis juga harus berakar pada harapan. Ia menempatkan harapan sebagai hal yang sentral dalam proses belajar mengajar karena pendidikan yang mengklaim dirinya memerdekakan, namun tidak memberikan harapan, akan sangat mudah jatuh ke dalam keputusasaan. “Tak akan ada dunia baru dan tak akan ada yang merdeka, jika kita hanya berkubang dalam keputusasaan”

 

Jauh melangkah dan akhirnya menyadarkan saya betapa penddidikan adalah perjalanan praxis panjang dari satu harapan dan satu kemerdekaan kecil ke harapan dan kemerdekaan kecil berikutnya. Sedikit demi sedikit, jalan itu terbentang karena kita terus berjalan : semakin dekat pada pendidikan yang memerdekakan. Semoga !!! (***)

Sutrisno Bandu
Sutrisno Bandu