Oleh: Hizaruddin
Wakil Ketua PC GP Ansor Banggai Laut
SUARAKERATON.ID- Ada sesuatu yang tak lekang oleh waktu ketika kita menyebut kata santri.
Di balik kain sarung yang sederhana, di antara lantunan doa yang lirih menjelang subuh, tersimpan denyut nadi bangsa yang terus bergetar dalam diam: keteguhan iman, keikhlasan ilmu, dan ketulusan amal.
Santri bukan sekadar penghuni bilik-bilik pesantren. Ia adalah penafsir kehidupan yang meniti jalan di antara kitab kuning dan kenyataan yang sering kali kelabu. Dari pesantren, mereka belajar bahwa menjadi manusia tidak cukup hanya cerdas, tapi juga harus beradab. Tidak cukup hanya fasih berlogika, tapi juga lembut dalam rasa dan bijak dalam sikap.
Hari Santri 22 Oktober bukan sekadar tanggal dalam kalender nasional. Ia adalah prasasti batin tentang perjuangan panjang anak negeri yang meneguhkan bahwa agama dan kebangsaan bukan dua kutub yang berlawanan, melainkan dua sayap yang mengangkat Indonesia di langit kemuliaan.
Dari resolusi jihad 1945, hingga peran-peran senyap santri masa kini, semuanya berakar dari keyakinan bahwa cinta kepada tanah air adalah bagian dari iman.
Kini, zaman bergerak cepat. Teknologi menggulung nilai-nilai, modernitas menuntut efisiensi, dan dunia seperti kehilangan kedalaman makna. Tapi di tengah hiruk-pikuk itu, santri tetap berdiri sebagai penjaga lentera. Ia tidak menolak perubahan, tapi juga tidak larut di dalamnya. Ia menyaring, menimbang, dan menata ulang setiap arus modernitas dengan alat ukur iman.
Karena bagi santri, kemajuan tanpa akhlak hanyalah kehancuran yang ditunda.
Ilmu bagi santri bukan sekadar tumpukan pengetahuan, melainkan cahaya yang menuntun laku. Di pesantren, ilmu tidak diajarkan untuk disombongkan, tapi untuk diamalkan. Itulah mengapa amal menjadi kelanjutan alami dari iman dan ilmu.
Ketika seorang santri membersihkan masjid, menimba air wudhu, atau mengajar anak-anak mengaji di kampungnya, di situlah sejatinya ilmu bertransformasi menjadi amal yang hidup.
Negeri ini Indonesia pernah dan akan selalu berutang pada pesantren. Dari rahim pesantren lahir ulama, guru, pemimpin, bahkan negarawan yang jujur dan berjiwa rakyat. Mereka tidak berteriak mencari panggung, tapi bekerja dengan diam yang bermakna. Mereka tidak menuntut pujian, karena yang mereka cari hanyalah ridha Tuhan.
Di tangan santri, Indonesia menemukan cerminan dirinya: sederhana tapi kuat, tenang tapi tajam, lembut tapi tegas.
Namun, menjadi santri di era kini bukan perkara mudah. Dunia digital membuka jendela tanpa pagar; segala hal bisa masuk, dari hikmah hingga hoaks, dari inspirasi hingga ilusi. Maka tugas santri masa kini adalah menjaga filter batin, meneguhkan literasi ruhani, agar tidak hanyut dalam derasnya arus dunia maya. Santri harus mewarnai zaman, bukan diwarnai olehnya.
Mereka harus menulis, berbicara, berinovasi, namun tetap berakar pada nilai-nilai pesantren yang tawadhu, zuhud, dan cinta damai.
Iman, ilmu, dan amal tiga kata yang sederhana tapi mengandung seluruh filosofi kehidupan santri. Iman yang menuntun arah, ilmu yang menerangi jalan, dan amal yang mewujudkan cinta. Jika ketiganya bersatu, maka pesantren tidak hanya menjadi tempat belajar agama, tapi juga pabrik kemanusiaan; tempat menempa jiwa agar mampu mencintai Tuhan dan sesama.
Hari Santri 2025 ini, semoga menjadi momen kita semua—bukan hanya para santri—untuk kembali menimba semangat kesederhanaan, ketulusan, dan cinta tanah air dari dunia pesantren. Karena sesungguhnya, di tengah gempita dunia yang sering kehilangan arah, masih ada lentera yang tak pernah padam: lentera iman, ilmu, dan amal yang dijaga dengan cinta oleh para santri.
Dari pesantren untuk negeri itulah persembahan yang tak ternilai.
Sebuah cahaya kecil yang membuat Indonesia tetap bercahaya.











