Oleh : Fahrudin Kadir
Tulisan ini saya mulai dengan sedikit menggambarkan suasana cair di depan meja makan, bincangan hangat satu keluarga nelayan, di dalam rumah yang berhalaman laut, di sanggah oleh kayu-kayu bulat berdiameter 15 cm.
sembari melahap hidangan ikan bakar sepotong demi sepotong hasil dari melaut pagi tadi. di lahap bersamaan dengan sinole, makanan khas dari ubi kayu yang di parut lalu di keringkan di campur dengan kelapa mangkal ( setengah tuah ), bisanya juga makanan ini di buat dari bahan dasar sagu.
Rutinitas ini adalah yang wajib setiap harinya, bukan soal makanan-nya, tapi lebih pada isi cerita yang keluar di selah-selahnya.
Sebuah petuah untuk anak dan isteri, cerita soal hasil tangkap,soal harga ikan, sampai soal biaya sekolah anak di perguruan tinggi nanti.
Cerita soal Nelayan memang tidak ada habisnya dari soal kesejahteraan,ekologi lautnya, sampai soal keberpihakan negara pada profesi yang tidak hanya menyumbang bagi perbaikan deficit IQ orang Indonesia, tapi juga turut menyumbang pajak untuk peningkatan Pendapatan Asli pada suatu Daerah.
Tercatat pada tahun 2018 sektor ini telah menyumbang 1 milyar pada PAD kabupaten Banggai Laut, angka yang terbilang wajar, kan bagaimanapun wilayah teritorial Kabupaten banggai Laut 70 % lebih adalah laut, sebagai daerah maritime usaha-usaha yang bergerak dibidang kelautan dan perikanan pasti juga cukup untuk mendobrak pendapatan daerah lewat pajak penghasilan yang di setornya kepada daerah, nah apakah penyetoran itu di lakukan secara online atau manual belum lagi jelas.
Memang semua daerah yang sebagian besar wilayahnya adalah laut, bukan saja menjanjikan pendapatan daerah yang berimplikasi pada meningkatnya anggaran transfer ke daerah , tapi juga kesejahteraan bagi nelayan yang menggarapnya.
Dari data yang penulis dapatkan lewat berita koran Luwuk Pos terbitan 6 Januari 2021, pada sector perikanan tangkap ini, ada sekitar 70 kapal pajeko dengan kapasitas 20 – 30 GT melakukan operasi di wilayah Banggai laut, namun sayangnya hanya 20 kapal di antaranya yang memiliki SIUP. Artinya kalua yang memilik SIUP itu hanya 20 kapal, kita bisa berkesimpulan bahwa ada puluhan kapal yang beroperasi tanpa terdeteksi besaran hasilnya, dan jaringan pasarnya.
Ini bagian soal cerita dan sumbangsih usaha-usaha yang bergerak di bidang perikanan tangkap, yang menggunakan alat-alat modern dengan target penangkapan yang besar, lain halnya dengan cerita yang di alami oleh keluarga nelayan yang sedang asik dengan sinole dan ikan bakarnya di atas meja makan berbahan kayu berukuran 130 x 150 cm.
Tekanan kebutuhan fantasy hidup, pendidikan,dan kesehatan yang tidak gratis itu, berpacu bersamaan dengan rusaknya ekologi laut, harga komoditas yang tidak stabil, seperti putaran jarum jam.
Pembangunan yang berpacu bak kuda jantan sedang naik birahi belakangan ini tidak menafikan keberadaan Nelayan tradisional, berbagai macam program telah di lucur untuk peningkatan sarana prasarana nelayan dari pembagian perahu fiber, sampai alat tangkap berupa jaring yang bersumber lewat dana DAK dan DAU, Pemdes pun tidak hanya berpangku kaki lewat Dandes-nya telah menggelontorkan ratusan juta guna pemenuhan fasilitas tangkap untuk nelayan.
Menurutku ini bantuan dengan pola pemberdayaan yang cukup baik, hanya memang bukan berarti pekerjaan berat sudah tidak ada.
Justru dengan lengkapnya fasilitas tangkap tersebut adalah awal dari bersinggungan-nya nelayan tradisional dengan kebijakan solutif dari pemerintah terhadap kemandirian ekonomi, serta wilayah Laut dan ekologinya yang berangsur parah dari hari ke hari.
Dengan lengkapnya fasilitas tangkap, alih – alih memasukan si-sulung di Universitas karena tabungan deposito akan bertambah, justru nota hasil dari pengepul hanya cukup untuk membayar sebagian ambilan ongkos melaut, serta cicilan Kasur dan ongkos rumah tangga dua hari ke depan, kondisi ini sebenarnya makanan sehari-hari di lingkungan kita, tidak hanya berlaku pada sebahagian keluarga di komunitas nelayan.
Ironinya jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Kabupaten Banggai Laut, daerah pesisir yang di huni oleh komunitas nelayan adalah daerah yang tingkat transaksi keuangan nya paling tinggi setiap harinya, soal transaksi uang ini bukan tanpa alasan, sebagai daerah paling padat jika dibanding dengan daerah lainnya, tentu tidak hanya usaha pengepul yang ada di sana,tapi berbagai jenis kegiatan usaha juga ikut tumbuh dengan suburnya di tengah lingkungan komunitas tersebut.
Hanya memang seperti kata Markx bahwa karakter capital ia seperti itu tersentralisasi dan termonopoli, akibatnya distribusi uang tida terbagi secara adil.
Menurut Om Marx pertentangan-pertentangan di dalam Masyarakat, menyebabkan terjadinya dialektika yang berujung pada perubahan system sosial.
Kontradiksi yang menjebak masyarakat komunitas pesisir itu, sama seperti system social yang berlaku di daerah-daerah agraris yang masyarakatnya menjadi buruh pabrik, atau buruh tani karena lahannya tergusur oleh usaha – usaha ekstraksi dan pertambangan, atau karena tidak memiliki tanah garapan.
Pada sebahagian komunitas masyarakat pesisir, tekanan kebutuhan fantasy hidup, pendidikan,dan kesehatan yang tidak gratis itu, berpacu bersamaan dengan rusaknya ekologi laut, harga komoditas yang tidak stabil, seperti putaran pada jarum jam. yang pada akhirnya menjelma menjadi penyebab perubahan pada pola corak produksinya.
Kalau di komunitas Masyarakat Agraris seperti yang di sebutkan di paragraf sebelumnya ada istilah Buruh tani, maka di komunitas masyarakat Pesisir ada yang namanya Buruh Nelayan, yang sebelumnya berprofesi sebagai nelayan tradisional kemudian beralih menjadi tenaga kerja di sector illegal fishing, mereka menjual tenaga dan nyalinya untuk pendapatan yang lumayan, pada tuan – tuan kapal pengebom (illegal fishing) berkapasitas 3 – 5 GT ,yang sedari awal telah banyak berkontribusi pada kerusakan ekologi, juga yang menjadi salah satu penyebab ketidak kemampuan mereka untuk longgar dari pemenuhan kebutuhan social-ekonomi.
Situasi sulit memang tengah dihadapi oleh komunitas nelayan, ungkapan “Maju kena, mundur kena” kiranya pas di sematkatkan pada mereka, peralihan profesi ini bukan tanpa resiko yang besar, karna selain perbuatan melawan hukum, nyawa juga telah menjadi taruhannya. Tetapi dengan tidak beralih profesi, rasa-rasanya situasinya semakin sulit.
Catatan – catatan di atas, soal alternative solusinya, harus segera difikirkan bersama oleh Pemerintah dan aparat berwenang, karena alasan peralihan mata pencaharian itu, di dasari oleh kebutuhan social-ekonomi, maka tentu solusinya harus juga menggunakan pendekatan pada problem tersebut.***