Oleh : Fahrudin Kadir, Tokoh Muda Banggai Laut
Bicara soal air bersih berarti kita sedang membicarakan satu hal yang sangat penting bagi kehidupan, lalu ketika bicara keberlangsungan hidup kita akan di pertemukan dengan percakapan sehari-hari soal kesejahteraan, soal kesehatan, pendidikan, dan juga ekonomi.
Nah sangat pentingnya akses masyarakat terhadap air bersih ini dikarenakan standar formal terkait kesejahteraan dan kesehatan di ukur dari kualitas air yang di konsumsi contohnya ketetapan standarisasi prasyarat kategori keluarga sejahtera dan bebas stunting salah satunya adalah terkait pemenuhan akses air bersih dan kualitasnya di dalam rumah tangga, orang bahkan bisa sampai saling bantai kalau haknya terhadap akses pemenuhan air bersih terancam.
Pentingnya akses air bersih ini sejalan dengan tradisi di kalangan masyarakat adat Banggai, pada zamannya orang tua-tua dahulu untuk membangun rumah atau lahan berkebun hal yang pertama dideteksi dalam observasinya adalah sumber air bersih. Karena menurut kepercayaan masyarakat banggai khususnya, dimana ada mata air berarti disitu ada kehidupan.
Filosofi ini tentu juga berlaku pada masyarakat yang lain.kecuali karena alasan penguasaan lahan lalu kemudian satu kelompok masyarakat dalam membangun tempat komunitasnya, tida lagi memperhatikan ketersedian sumber mata air.
Kondisi di atas sama seperti yang di alami oleh salah satu komunitas masyarakat peling yang melakukan migrasi local ke wilayah pulau bangkurung pada tahun 1994, mendiami dataran bagian timur pulau bangkurung yang areal pantainya di temboki oleh pohon bakau, sedang daratanya di kelilingi gunung bebatuan,tanpa akses air bersih, kecuali beberapa mata air slobar yaitu pencampuran air tawar dan air laut.
Saat tulisan ini di buat terhitung tiga puluh tahun komunitas masyarakat tani Akad bulusan yang telah dua kali berpartisipasi menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan Bupati dan ke-tiga kalinya dalam pemilihan DPRD, berjibaku dengan situasi yang bisa kita semua simpulkan sebagai kondisi ekstrim.
Mama-mama Akad bulusan Dan Air Bersih
Seorang politisi tanpa panggung dan modal finansial untuk melakukan service bisah jadi akan kesulitan untuk menangkan perhelatan. Sangat pentingnya panggung dan finansial bagi seorang politisi, itu sama seperti air bersih bagi mama-mama di Akad bulusan, tanpa akses air bersih yang memadai aktifitas domestiknya juga akan terganggu. Pada awal-awal migrasi, kaum mama dalam usaha pemenuhan air bersih, selalu mengandalkan mata air slobar yang berjarak dua ratus sampai lima ratus meter naik turun bukit, sembari berkelahi dengan waktu pasang surut air laut. Juga mendapatkannya dari menampung air hujan.
Kalau kita merujuk pada peraturan Mentri Kesehatan No 2 tahun 2023 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Lingkungan, soal SBMKL yaitu spesifikasi teknis atau nilai yang dibakukan pada media lingkungan yang berhubungan atau berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat.
Tentu kondisi yang telah bergelut akrab dengan mama-mama Akad bulusan jauh dari standar yeng ditetapkan tersebut. tak ada tali untuk mengikat, kulit pohon pun jadi ungkapan ini mungkin rasanya pas kalau disematkan kepada mama-mama di dusun yang telah di huni 60 lebih jiwa tersebut, tidak ada pilihan lain selain berpasrah, toh sekalipun sulit, tiga puluh tahun adalah waktu yang cukup untuk buat orang terbiasa pada hal-hal yang salah sekalipun.
Sampai pertengahan tahun 2018 pemerintah kabupaten Banggai Laut melaksanakan proyek pembangunan Jalan yang menelan anggaran miliyaran rupiah, setidaknya kondisi tergambar di atas sedikit berubah. Dusun Akad bulusan yang juga masuk dalam Ling ruas peningkatan jalan Dungkean – Bone-bone telah memberi dampak langsung bagi mudahnya aksesibilitas masyarakat Akad bulusan berinteraksi dengan lingkungan di luar dusunnya. Perlahan rutinitas naik turun bukit di setiap air laut sedang surut mulai berkurang, hanya ini berlaku bagi mereka yang sedikit berkelebihan. membeli air seharga Lima ribu Rupiah untuk satu Jerigen berukuran dua puluh liter, sedang mereka yang lebih suka berhemat alternative naik turun bukit sejauh dua ratus sampai lima ratus meter sambil memanggul Bois (tas masyarakat lokal) yang berisi jerigen-jerigen berukuran lima liter, pemandangan tong air dan ember-ember plastic di bawah atap rumahnya untuk menampung air hujan lewat pancuran yang dengan kreatif di rakit dari bambu, pipa ukuran diameter 3 dan seng pelat masih akan selalu menjadi pilihan menarik. Dan sampai wankawan membaca tulisan ini, kondisi menarik ini masih terus berlangsung.
Menakar Keberpihakan Politik Anggaran
Kondisi yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun tersebut, bukan tidak di respon oleh pemerintah Kabupaten, dua tahun sebelum di bangunnya jalan Ruas Dungkean – Bone-bone telah dilakukan survey lokasi titik mata air untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat akad bulusan, oleh Dinas PUPR saat itu. Didalam survey tersebut diketahui bahwa jarak sumber mata air bersih sekitar 7-8 km dari dusun Akad bulusan. Nah alasan jarak yang jauh itu sehingga pembangunannya harus di kaji kembali khususnya terkait kesiapan anggaran.
Di kecamatan bangkurung sendiri terkait upaya pemerintah dalam rangka peningkatan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar Masyarakat terbilang sangat progres, tidak tanggung-tanggung puluhan miliyaran rupiah telah digelontorkan untuk pembangunan di pulau terbesar ke dua setalah pulau banggai pusat ibu kota kabupaten Banggai Laut.
Khusus pelayanan air bersih-pun juga seperti itu, sejak Sembilan tahun lalu dari membangun sampai rehabilitas, miliyaran rupiah telah di habiskan, namun sayang beribu sayang tida satupun program air bersih yang sudah menelan anggaran miliyaran tersebut yang di konsentrasikan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di Dusun Akad bulusan. Pemerintah selalu saja berdalih besarnya beban anggaran ketika pembangunan fasilitas air bersih di dusun Akad bulusan itu dilaksanakan,tanpa menimbang-nimbang alternative solusi yang lain, padahal sumber-sumber mata air slobar yang ada di sekitaran perkampungan bisa di upayakan agar bisa layak pakai.
Lewat tulisan ini saya ingin mengajak wankawan menyeberang sejenak beberapa menit saja ke kepulauan Bokan tepatnya di Minanga.
Minanga adalah nama salah satu desa di Kecamatan Bokan Kepulauan, yang kondisinya sebelum penanganan dilakukan sama persis dengan yang terjadi di Dusun Akad bulusan. Di Desa minanga ini terkait Krisis air bersih, kita akan menemukan satu pressure keberpihakan anggaran yang massif dari pemerintah.
Dari dua sumber mata air salah satunya berada di seberang pulau, dan yang satunya berada satu daratan dengan desa minanga, hanya memang untuk sampai kesana orang harus juga naik turun bukit berkilometer, nah Alhamdulillah – nya sumber air bersih inilah yang pada 2018 berhasil di akses lewat program PAMSIMAS.
Ada yang menarik di sini Jauh sebelum PAMSIMAS masuk, menanggapi kondisi krisis air bersih di desa Minanga pemerintah melalui kebijakan tangan Dewa-nya, melakukan penanganan terbarukan lagi hemat anggaran, melalui teknologi desalinasi yang ramah Lingkungan yaitu Air laut yang di olah menjadi air tawar agar layak konsumsi, menggunakan alat filter BWRO (Brackish Water Reverse Osmosis) yang di operasikan dengan mengandalkan sumber energy dari panas matahari.
Pada situasi ini kita layaknya bertanya. Tiga puluh tahun terlantar, empat belas tahun sejak Banggai Laut berdiri, 60 lebih jiwa yang telah berkontribusi pada tiap suksesi Pilkada dan Pileg, atas dasar alasan keterbatasan anggaran, tidak mendapatkan hak-nya sebagai masyarakat yang memiliki pemerintahan, seperhitungan itukah Pemerintah dengan Rakyatnya..?
Padahal hentakan-hentakan kecil seperti yang di lakukan di Desa Minanga, sangat di harapkan juga untuk menggapai Asah puluhan tahun untuk se-ember air bersih di Dusun yang berlanskap pertanian tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mungkin juga layak ada di dalam otak semua orang, di semua tempat dengan berbagai persoalan yang berbeda-beda**