Oleh : Hizaruddin (Pemarhati Politik)
Fenomena politik uang dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan masalah yang meresahkan dalam sistem demokrasi Indonesia.
Meskipun dianggap sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, praktik politik uang masih menjadi momok yang merusak integritas proses pemilihan dan demokrasi itu sendiri.
Politik uang, di mana para calon atau tim sukses mereka memberikan uang atau barang kepada pemilih dengan harapan mendapatkan dukungan suara, telah menjadi praktik yang lazim. Fenomena ini tidak hanya menciderai nilai-nilai demokrasi, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang yang merugikan masyarakat.
Pertama, politik uang menciptakan ketidakadilan dalam proses pemilihan. Calon dengan kekuatan finansial yang besar cenderung lebih diuntungkan karena mereka mampu membeli suara, sementara calon lain yang mungkin lebih berkualitas tetapi tidak memiliki modal besar akan sulit bersaing.
Akibatnya, yang terpilih bukanlah mereka yang benar-benar memiliki visi dan kompetensi terbaik untuk memimpin, melainkan mereka yang mampu “membeli” kemenangan.
Kedua, politik uang merusak kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Ketika pemilih merasa suara mereka hanya dihargai dengan sejumlah uang atau barang, rasa kepercayaan terhadap proses pemilihan menjadi luntur.
Pemilih mungkin menjadi apatis, berpikir bahwa hasil pemilihan sudah ditentukan oleh uang dan bukan oleh pilihan rasional berdasarkan visi, misi, dan program kerja calon.
Ketiga, dampak negatif dari politik uang terasa jauh setelah pemilihan usai. Kepala daerah yang terpilih melalui praktik ini seringkali merasa perlu “mengembalikan modal” yang telah dikeluarkan selama kampanye.
Hal ini bisa mendorong praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang pada akhirnya merugikan masyarakat secara keseluruhan. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan daerah malah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya kolektif dari semua pihak. Penegakan hukum yang tegas terhadap praktik politik uang harus menjadi prioritas.
Selain itu, pendidikan politik kepada masyarakat sangat penting agar pemilih memahami pentingnya memilih berdasarkan kualifikasi dan bukan iming-iming materi.
Media juga berperan penting dalam mengawasi dan mengungkap praktik politik uang, serta memberikan informasi yang objektif dan mendalam mengenai calon-calon yang bertarung dalam Pilkada.
Jika fenomena politik uang dibiarkan terus berkembang, maka demokrasi yang sehat dan berkualitas hanya akan menjadi mimpi.
Oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat harus bersatu padu dalam memerangi praktik ini demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik.***